Oleh : Saddam Ilham Darussalam
Mahasiswa Fisip Unsil Semester VI
ARTIKEL, || Sejak pandemi Covid-19 Jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang berangkat ke Kamboja mengalami peningkatan signifikan. Data dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh mencatat lonjakan kedatangan WNI dari sekitar 14.564 orang pada tahun 2020 menjadi 166.795 orang pada tahun 2024, dengan banyak di antaranya tinggal secara legal maupun ilegal di negara tersebut.
Kedatangan WNI ke Kamboja bukan tanpa tujuan, setelah Pemerintah Kamboja mengesahkan Undang-Undang Perjudian pada bulan November 2020, yang secara resmi mengatur bisnis perjudian di negara tersebut. Undang-undang ini mempermudah perizinan untuk pusat perjudian komersial terpadu, termasuk kasino, resor, restoran, pusat pameran, dan pusat perbelanjaan. Selain itu, pemerintah membentuk Komisi Manajemen Judi Komersial Kamboja yang mengurus perizinan judi online. Sehingga ada beberapa WNI yang berinvestasi disana dan membutuhkan Pekerja dari Indonesia. Dengan Gaji yang di tawarkan lebih besar dari Gaji yang bisa di dapatkan di Indonesia membuat Masyarakat tergiur dengan pekerjaan tersebut.
Salah satu WNI yang bekerja pada sector tersebut di Kamboja, menuturkan bahwa Gaji Pokok yang di terima setiap bulannya mencapai 8 Juta rupiah, itu belum termasuk dengan Bayaran Bonus Kinerja yang menurutnya jika di totalkan bisa mendapatkan penghasilan sekitar 12-13 Juta Rupiah setiap bulannya. Yang jika dia bandingkan dengan gaji UMR yang ia terima saat masih bekerja di salah satu Kota di Pulau jawa jauh lebih tinggi. Sehingga bekerja di Kamboja bisa membiayai Keluarganya secara lebih layak jika di bandingkan dengan harus tetap bekerja di salah satu kota di jawa dengan UMR yang masih kurang dari cukup untuk membiayai keluarganya di Indonesia.
Sebagai Negara yang tergabung di ASEAN, Indonesia dan Kamboja menerapkan kebijakan yang memudahkan mobilitas warga negara antarnegara anggota, termasuk melalui fasilitas bebas visa kunjungan selama 30 hari bagi WNI yang ingin memasuki Kamboja. Kebijakan ini memungkinkan warga Indonesia untuk masuk ke Kamboja dengan prosedur yang relatif sederhana tanpa harus mengurus visa secara rumit, sehingga mempermudah perjalanan dan tinggal sementara di negara tersebut.
Sayangnya Fasilitas tersebut tidak di barengi dengan sistem pengawasan yang ketat sehingga membuat sebagian WNI rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan manusia (TPPO) dan penipuan daring. yang dimana fenomena ini sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Fenomena ini merupakan bagian dari “fenomena lapar kerja,” di mana banyak WNI berisiko tinggi mencari pekerjaan di luar negeri tanpa prosedur resmi sehingga rentan terhadap eksploitasi dan perdagangan manusia. tercatat 391 korban berhasil dipulangkan sepanjang 2024, dan 82 orang pada 2025, dengan total 473 orang. Dan orang-orang tersebut adalah mereka yang menjadi korban Dari Perdagangan Orang dan penipuan daring.
Fenomena lonjakan migrasi WNI ke Kamboja dalam konteks kerja informal, terutama di sektor perjudian online, dapat ditelaah melalui pendekatan teori migrasi neoklasik dan kerangka push–pull. Teori ini menyatakan bahwa individu cenderung bermigrasi karena pertimbangan rasional terkait keuntungan ekonomi: mereka terdorong dari daerah asal (push factor) oleh kemiskinan, pengangguran, dan upah minimum yang stagnan, dan ditarik ke negara tujuan (pull factor) oleh janji gaji tinggi, kehidupan layak, serta kemudahan masuk ke wilayah tersebut tanpa visa yang rumit (Todaro, 1976).
Namun dalam konteks ini, tarikan tersebut tidak semata-mata berasal dari negara tujuan, melainkan dibungkus dalam narasi palsu yang dibangun oleh sindikat perdagangan manusia digital. Janji-janji gaji hingga belasan juta rupiah, kerja ringan, dan fasilitas tempat tinggal ternyata menjadi pintu masuk ke bentuk eksploitasi modern yang lebih terselubung. Bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga manipulasi psikologis dan isolasi digital yang membuat korban kehilangan kendali atas kehidupan mereka.
Dalam skema sindikat digital yang dibongkar di berbagai laporan investigatif (Denney, Alffram, and Domingo 2024), para pekerja ini seringkali dipekerjakan di perusahaan scam center dengan sistem kerja semi-militeristik, tekanan kerja tinggi, dan kontrol ketat terhadap identitas dan komunikasi mereka. Mereka tidak hanya menjadi objek eksploitasi ekonomi, tetapi juga dipaksa menjadi alat untuk menipu orang lain melalui penipuan daring lintas negara. Dengan kata lain, mereka yang pada awalnya bermigrasi untuk memperbaiki nasib justru bertransformasi menjadi alat eksploitasi terhadap korban lain dalam lingkaran setan perdagangan manusia digital.
Konsekuensinya tidak hanya menyentuh aspek hak asasi manusia, tetapi juga mengancam stabilitas sosial di kawasan Asia Tenggara. Ketika praktik perdagangan manusia berkembang menjadi lintas batas dan memanfaatkan celah kebijakan migrasi serta kurangnya koordinasi antarlembaga, negara-negara seperti Indonesia dan Kamboja menjadi lemah dalam posisi tawar global.
Kurangnya bilateral labour agreement yang kuat memperparah situasi ini, menjadikan para migran informal tidak lebih dari “bayangan legalitas” yang tak memiliki perlindungan hukum yang konkret.
Secara normatif, ASEAN telah mengadopsi konvensi seperti ASEAN Convention Against Trafficking in Persons, Especially Women and Children (ACTIP). Namun seperti yang dikritik oleh Auethavornpipat (2017), prinsip non-interference yang menjadi pilar ASEAN membuat implementasi ACTIP sangat lemah.
Tanpa mekanisme sanksi atau penegakan hukum lintas batas yang kuat, perjanjian ini cenderung simbolis dan tidak mampu menanggulangi jaringan kriminal yang bersifat transnasional dan sangat adaptif terhadap teknologi.
Dari sinilah kita melihat bahwa akar masalah tidak hanya terletak pada kemiskinan atau migrasi, tetapi pada kombinasi dari krisis ekonomi, ketimpangan teknologi, dan ketidaksiapan kebijakan negara dalam menghadapi bentuk-bentuk baru perdagangan manusia.
Maka, penyelesaian masalah ini memerlukan pendekatan multidimensi: penguatan pendidikan migrasi aman di tingkat desa, pembangunan sistem kerja sama bilateral berbasis perlindungan, dan adopsi teknologi forensik digital untuk membongkar jaringan sindikat daring.
(Sumber : https://www.bbc.com/indonesia)