Kebijakan Hukum Soal AKBP Brotoseno Dikhawatirkan Melanggar Hukum

Kebijakan Hukum Soal AKBP Brotoseno Dikhawatirkan Melanggar Hukum

SERGAP.CO.ID

MEDAN, || Transformasi substantif yang dilakukan Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listiyo Sigit Prabowo, MSI dengan melakukan revisi terhadap peraturan Kapolri terkait etika profesi Polri termasuk susunan organisasi dan tata kerja komisi etik Polri berdasarkan hasil diskusi dengan sejumlah ahli hukum pidana perlu diapresiasi, ujar Dosen Pascasarjana dan Ketua Prodi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara serta alumni Program Doktor Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung yakni Dr. Alpi Sahari, SH. M. Hum.

Bacaan Lainnya

Revisi Perkap ini sebagaimana dikemukakan oleh Jenderal Listiyo Sigit Prabowo dalam keterangannya antara lain:

“Polri memperhatikan apa yang menjadi aspirasi masyarakat, yang salah satunya adalah di dalam perubahan Perkap tersebut kami jadikan satu menjadi peraturan Kepolisian dengan menambahkan klausula mekanisme peninjauan kembali terhadap putusan-putusan yang dikeluarkan kembali oleh sidang komisi kode etik”, ujar Dr Alpi Jumat (10/6).

Pernyataan Kapolri Jenderal Listiyo Sigit Prawobo ini diartikan membentuk hukum baru dengan merumuskan norma peninjauan kembali yang sebelumnya belum diatur dalam Perkap terhadap putusan komisi etik Polri yang telah berkekuatan hukum tetap.

Komisi etik yang menyidangkan AKBP Brotoseno memutuskan bersalah dengan sanksi berupa permintaan ma’af dan demosi. AKBP Brotoseno menerima putusan ini dan tidak melakukan upaya hukum atas putusan komisi etik ini karena tentunya menguntungkan dirinya.

Hal ini akan berbeda dalam hal AKBP Brotoseno diberhentikan menjadi anggota Polri yang tentunya akan melakukan upaya hukum banding bahkan mengajukan gugatan ke PTUN atas Keputuan penghentian menjadi anggota Polri.

Langkah Kapolri Jenderal Listiyo Sigit Prabowo terkait peninjauan kembali terhadap keputusan AKBP Brotoseno sebagaimana dinyatakan Kapolri sebagai berikut.

“Ada ruang bagi dirinya sebagai pemimpin institusi Polri untuk meminta adanya peninjauan kembali terhadap keputusan AKBP Brotoseno”. ujar Dr. Alpi.

Pembentukan hukum baru berupa peninjauan kembali yang selanjutnya diterapkan untuk AKBP Brotoseno dikhawatirkan melanggar hukum karena pada saat AKBP Brotoseno diputus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku pada saat itu, di dalam hukum pidana misalnya mengenal asas legalitas (nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali).

Mengutip pendapat Montesquieu dan Rousseau yang menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undang-undang tertulis. Putusan Komisi Etik terhadap AKBP Brotoseno berada dalam tatanan faktuelestrafrechtwissenschaft sedangkan norma hukum baru berupa peninjauan kembali berada dalam tatanan normativestrafrechtwissenschaft. Disamping itu, pemberlakuan hukum baru melalui peninjauan kembali terhadap putusan etik AKBP Brotoseno berpotensi melanggar hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam landasan konstitusi (UUD 1945) yakni hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945).

Hal ini juga diatur dalam UU RI No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam hukum pidana berkaitan dengan “asas no retroaktif” termuat dalam Pasal 1 ayat (1) kUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”.

Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyebutkan bahwa “Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”.

Terkait dengan Putusan Komis Etik terhadap AKBP Brotoseno yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebaiknya Kapolri Jenderal Listiyo Sigit Prabowo memahami harmonisasi rechtmatigheid beginsel dan doelmatigheid beginsel menuju tujuan utama kebenaran materiil sesuai teori spannungverhaltis yakni variabel penjelasan Pasal 55 paragraf 3 dari UU PTUN bersifat “fiktif negatif” bukan menerapkan norma hukum baru berupa peninjauan kembali yang selanjutnya diterapkan dalam putusan komisi etik terhadap AKBP Brotoseno yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).

(**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.