KUPANG, || Praktisi hukum asal Nusa Tenggara Timur, Dr. Semuel Haning, SH, MH, menegaskan bahwa pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank NTT berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak dipengaruhi oleh politik.
Ia menegaskan bahwa segala proses tersebut harus dipandang dari sudut hukum, bukan politik.
“Saya ingin menegaskan bahwa hukum harus tetap menjadi yang utama. Kita tidak bisa membiarkan politik masuk dalam ranah hukum, apalagi dalam hal yang melibatkan kepentingan masyarakat banyak seperti ini,” ujar Haning dengan tegas, di Paradox Cafe Kota Kupang, Jumat, 16 November 2024,
Ia mengingatkan, sebagai praktisi hukum, berbicara masalah hukum haruslah didasari bukti yang sah dan valid.
“Kalau bicara tanpa data yang akurat, itu bisa berujung pada pencemaran nama baik atau bahkan fitnah. Oleh karena itu, setiap pernyataan harus didasari bukti,” tambahnya.
Haning juga menjelaskan, sesuai dengan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, RUPS merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Dewan Direksi dan Komisaris setiap tahun.
“RUPS tahunan wajib dilaksanakan untuk melaporkan perkembangan perusahaan, dan jika tidak dilaksanakan, pemegang saham bisa meminta Dewan Komisaris untuk segera mengadakan RUPS dalam jangka waktu 15 hari,” ujar Haning.
Namun, jika dalam 15 hari tersebut RUPS tidak juga dilaksanakan, Haning menjelaskan, pemegang saham dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang untuk melakukan RUPS.
“Jika pengadilan menerima permohonan tersebut, maka RUPS dapat dilaksanakan, tetapi jika tidak memenuhi syarat, pengadilan bisa menolak permohonan tersebut,” jelas Haning.
Putusan pengadilan dalam hal ini, lanjut Haning, bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat.
“Proses hukum ini sudah jelas dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Yang berhak melaksanakan RUPS adalah Direksi, Komisaris, atau pemegang saham yang sudah mendapatkan izin dari pengadilan,” jelasnya.
Fenomena yang terjadi di masyarakat terkait pelaksanaan RUPSLB, menurut Haning, kadang disalahartikan sebagai langkah untuk mengganti Dewan Direksi atau Komisaris.
“Memang benar bahwa dalam RUPSLB bisa terjadi pergantian, namun ini harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” ujarnya. Ia pun mengingatkan bahwa Direksi dan Komisaris memiliki perlindungan hukum melalui Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Peraturan tersebut, jelas Haning, mengatur tentang pemberhentian Direksi dan Komisaris, yang hanya dapat dilakukan jika ada alasan yang jelas dan sah. “Misalnya, jika masa jabatan mereka berakhir atau mereka meninggal dunia. Jika pemberhentian dilakukan tanpa alasan yang sah, itu adalah pelanggaran hukum,” tambahnya.
Haning juga mengingatkan bahwa jika ada pihak yang merasa dirugikan akibat pemberhentian tanpa dasar yang jelas, mereka bisa menempuh jalur hukum untuk mencari keadilan. “Tidak ada yang kebal hukum, bahkan Direksi atau Komisaris yang merasa tidak adil dalam proses pemberhentian bisa menggugat keputusan tersebut,” tegasnya.
Penting bagi para pemegang saham, lanjut Haning, untuk selalu berpegang pada prosedur yang sah dan sesuai hukum dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan RUPS. “Segala keputusan harus diambil dengan penuh kehati-hatian dan berdasarkan peraturan yang ada agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari,” ujarnya.
Terkait masa jabatan Direksi atau Komisaris, Haning mengingatkan bahwa ketika masa jabatan berakhir, mereka tidak lagi memiliki kewenangan untuk menandatangani dokumen atau mengambil keputusan atas nama perusahaan. “Jika mereka tetap melakukan itu, maka itu merupakan pelanggaran hukum,” tegasnya.
Namun, jika masa jabatan mereka diperpanjang melalui RUPSLB, maka perpanjangan itu harus dilakukan secara sah dan sesuai prosedur. “RUPSLB adalah sarana untuk memperpanjang masa jabatan, namun harus ada keputusan yang sah dari pemegang saham,” jelas Haning.
Untuk itu, ia mengingatkan agar setiap pihak yang terlibat dalam proses RUPS dan RUPSLB untuk memastikan bahwa semua prosedur dijalankan dengan benar. “Jangan sampai niat baik untuk mengelola perusahaan justru malah mencederai hukum. Semua langkah harus prosedural agar tidak merugikan perusahaan dan masyarakat,” katanya.
Sebagai penutup, Haning mengajak semua pihak untuk selalu mengedepankan hukum dalam setiap langkah yang diambil. “Mari kita jaga bersama agar semua yang kita lakukan, baik itu di dunia usaha maupun di bidang lainnya, selalu berlandaskan hukum, bukan politik,” pungkasnya.
Dalam konteks ini, masyarakat diharapkan bisa lebih memahami bahwa hukum adalah dasar yang mengatur setiap aktivitas bisnis dan bahwa proses yang sah adalah jalan terbaik untuk menjaga kredibilitas serta integritas institusi.
(Dessy)