Program Pertanian Organik Masuk Prolegda Jabar, Sejatinya Untuk Siapa?

Program Pertanian Organik Masuk Prolegda Jabar, Sejatinya Untuk Siapa?
Oleh : Ummu Fahhala, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

SERRGAP.CO.ID

OPINI, || Raperda terkait Penyelenggaraan Pertanian Organik di Jawa Barat dijadikan sebagai alternatif dalam mengembalikan kejayaan pertanian dengan jenis organik. Begitu pula Raperda tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2025-2045 telah masuk dalam Program Pembentukan Legislasi Daerah tahun 2024, seperti dilansir jabar.antaranews.com, Jumat 29 Maret 2024.

Bacaan Lainnya

Plt Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin mengungkapkan bahwa pertanian organik menggabungkan inovasi, tradisi, dan ilmu pengetahuan. Merupakan pertanian masa depan yang memberikan sejumlah keuntungan seperti pemanfaatan sumber daya local, pengurangan biaya input dan subsidi, kemandirian dari harga pupuk kimia yang mahal dan langka, peningkatan kualitas, nutrisi produk pangan, dan dukungan untuk sistem pertanian berkelanjutan,” ucap Bey.

Berbagai program dan upaya dilakukan untuk mengembalikan kejayaan pertanian sangat penting. Tapi hal ini bisa menjadi ironi, karena kebijakan nasional yang justru menggelontorkan impor pangan secara besar-besaran, dan pesimis untuk mencapai swasembada pangan dan pertanian.

Faktanya, impor beras menjadi solusi pragmatis persoalan pertanian dan bukan solusi mendasar dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Selain impor, banyak petani yang beralih profesi karena berkurangnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan, pengurangan subsidi pupuk dan lain sebagainya menggambarkan belum terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan di negeri ini. Hal ini akibat dari penerapkan sistem ekonomi kapitalisme.

Solusi Islam

Kebijakan pertanian dalam Islam diarahkan pada tujuan untuk memaksimalkan eksploitasi atau pemanfaatan tanah dan lahan hingga menghasilkan tingkat produksi pertanian paling tinggii, untuk menghasilkan hasil-hasil pertanian dalam mencukupi kebutuhan pangan dan industri pertanian negeri.

Dalil yang mendasari pasal ini adalah sabda Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam, “ Imam adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas orang yang dia pimpin,” hadis riwayat al-Bukhari. Semua urusan rakyat menjadi tanggung jawab negara, termasuk sektor pertanian.

Di antara kebijakan yang berkaitan dengan lahan pertanian adalah negara memaksa para petani untuk menggarap tanahnya. jika mereka melantarkan selama 3 tahun berturut-turut negara berhak melakukan penyitaan. Hal ini didasarkan hadis riwayat al-Bukhari, bahwa Nabi Saw bersabda “Barang siapa memiliki tanah, maka garaplah tanah itu atau ia berikan kepada orang lain dan jika ia tidak melakukannya, sitalah tanahnya.” Dalam riwayat lain, Usaid bin hudhair r.a. bertutur bahwa Rasulullahah Saw telah melarang sewa tanah, hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim. Hadis-hadis tersebut merupakan kebijakan Nabi Saw atas tanah-tanah pertanian, sebagaimana sifatnya sebagai lahan pertanian, maka harus terus digarap agar fungsinya terus berjalan secara maksimal.

Penerapan politik pertanian yang akan dijalankan negara dalam sistem Islam yaitu kebijakan meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik, untuk itu negara dalam sistem Islam akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian.

Baitul Mal akan memberi subsidi kepada para petani, untuk memenuhi kebutuhan dalam menggarap lahannya. Para petani diberikan berbagai bantuan dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk, baik modal peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan research, pemasaran, informasi dan sebagainya. Baik secara langsung atau tidak, maka seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi dan sebagainya, sehingga arus distribusi lancar.

Adapun upaya ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah sesuai konsep pengaturan lahan dalam Islam. Dalam Islam tanah memiliki tiga status kepemilikan; pertama, tanah yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian. Kedua, tanah milik umum yaitu yang didalamnya terkandung harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang dengan jumlah yang sangat besar, tanah yang diatasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan rel kereta dan lain-lain. Ketiga, tanah milik negara diantaranya yang tidak berpemilik atau tanah mati tanah yang ditelantarkan, tanah disekitar fasilitas umum dan lain-lain.

Berdasarkan konsep kepemilikan ini, maka tidak dibolehkan tanah hutan diberikan izin konsesi kepada swasta atau swasembada, baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian, apalagi jika kawasan hutan tersebut diketahui memiliki fungsi ekologis dan hidrologi seperti hutan gambut yang jika dimanfaatkan untuk aktivitas ekonomi bisa menimbulkan mudhorot yang luas bagi masyarakat.

Maka untuk daerah hutan gambut yang terlanjur beralih fungsi ke penggunaan lain, maka Islam memerintahkan agar negara mengembalikannya kepada fungsi asal terkait lahan pertanian. Negara akan memetakan kawasan yang subur dan tidak subur. Lahan yang subur akan diprioritaskan untuk lahan pertanian.

Menghidupkan lahan mati dan pemagaran bisa dilakukan untuk mendapatkan kepemilikan lahan pertanian. Bila para petani tidak memagarinya secara langsung, negara juga dapat memberikan tanah pertanian yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Namun jika kawasan masih juga terbatas, negara boleh melakukan pembukaan lahan baru seperti mengeringkan rawa dan rekayasanya menjadi lahan pertanian dengan syarat harus memperhatikan aspek lingkungan kemudian dibagikan kepada rakyat yang mampu mengelolanya. Hal ini pernah dilakukan di masa Khalifah Umar Bin Khattab di Irak.

Kawasan pertanian tidak boleh beralih fungsi menjadi lahan non pertanian seperti perumahan, perkantoran dan lain-lain. Jika itu terjadi, maka negara harus mengembalikan fungsi awal lahan. Hanya saja, implementasi konsep ini harus sejalan dengan aturan-aturan Islam lainnya di bidang politik, ekonomi, keuangan, pendidikan dan sebagainya, tidak mungkin dijalankan kecuali oleh sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh (kafah).

(Oleh : Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *