SERGAP.CO.ID
OPINI, || Agata, gadis desa berselimutkan debu gunung api terpaksa meninggalkan lahan garapannya sehari, setelah kasus yang menimpa kampung halamannya.
Segalanya beda, setelah langit kabut dan laut pasang. Pisang-pisang dan kelapa miliknya telah ditebang tanpa suatu kesepakatan yang pasti. Saya hanya kasihan pada Agata, gadis desa yang memiliki sarung tenun khas Lamaholot itu, tak mampu mencairkan situasi batinya yang porak poranda setelah lahannya dilumat parang dan sensor proyek dengan acuan kesepakatan yang masih berbauh polemik.
Akut memang. Inilah situasi genting yang tengah dialaminya. Seolah perampasan pada tanah ibarat merobek ibu bumi dan menginjak martabatnya sebagai seorang perempuan.
Biasanya pagi-pagi sekali, Agata duduk menatap jauh. Ada daun-daun luruh diterbangkan angin, dan rumput-rumput berdesakan tumbuh di lahan panjang itu.
Segalanya beda setelah proyek jutaan rupiah itu tak bisa dibendung pemimpin kami. Perempuan itu tak tak sanggup bicara. Hanya air mata mengekalkan doa yang paling keramat di lubuk hati yang paling dalam.
“Pak, ini lahan saya satu-satunya tempat saya mengais hidup,”kata Agata sambil mengusap air matanya.
“Maaf ibu, ini aturan dari pemimpin kita. Kami tidak bisa berbuat banyak, ”Tegas salah seorang petugas keamanan.
“Pak, ini warisan suami saya setelah meninggal.”
“Hei ibu, minggir dari situ. Jangan pernah halangi kami,” Bentak seorang pengawal.
“Kami tidak peduli ibu. Rasa belaskasihan kami sudah dibeli oleh segepok uang dan jabatan. Kalau kami tidak tegas kami akan kehilangan segalanya,” ujar Pak Rano.
Sudah dua periode masyarakat memilih pemimpin di negeri ini tapi selalu gagal menyuarakan suara mereka. Jika mereka bersuara, suara mereka hanyalah angin lalu yang tak tahu mau hinggap ke mana. Aneh, negeri ini kehilangan kendali. Semua berdalil mencari hidup. Ada yang pelan-pelan berkoalisi tapi ada juga yang mengkritisi. Tapi sayang suara kritis mereka tumpul di depan hukum. Bagi mereka, hukum tak mampu berbicara di depan panggung keadilan. Semuanya serba rumit. Tak ada yang bisa menerka apa yang terjadi kemudian.
Mungkin diam itu lebih baik ketimbang bicara tapi tak ada yang mendengarkan. Itulah yang kini dialami oleh Agata.
Segalanya memang berubah tapi keadilan tak pernah mati. Inilah harapan yang masih ia simpan di ujung doa paling akhir. Amin.
Pagi yang amat belia. Matahari belum nampak ke permukaan bumi. Udara dingin menyelimuti wajah kota itu. Beberapa warga terlihat panik. Mereka berlarian ke tepi pantai. Beberapa diantaranya memegang parang sambil berteriak histeris. Mereka mengancam beberapa investor asing yang lagi mematok tanda di Awulolong, tempat mereka mengais rejeki dari siput-siput yang terbenam setelah laut surut. Agata juga hadir di sana sekadar menyaksikan peristiwa itu sambil menangis sesegukan. Tak ada bedanya dengan lahan miliknya yang dirampas kemarin. Kini ia menatap getir harapan warga yang pupus, ketika lahan tempat mereka mencari nasib akan dibangun sebuah hotel terapung. Ah, seperti mimpi di siang bolong.
Warga amat peka membaca tanda-tanda alam yang kadang sulit diramal. Konon, sejak beberapa investor mulai mematok tanda agar dibangun hotel terapung, mereka mendengar bunyi lolongan anjing pada malam hari yang tak seperti biasanya. Bahkan beberapa diantara mereka membaca tanda-tanda yang tidak baik, karena melihat beberapa ikan besar mulai berkeriapan di pesisir pantai. Inilah alasannya warga takut jika terjadi apa-apa dengan daerah mereka.
Agata hanya duduk meneteng dagu sambil membawa tumpukan tanya di kepala. Sedangkan warga masih berhamburan di tepi pantai. Beberapa investor yang bekerja terpaksa pulang karena takut ancaman warga. Mereka tak bisa melanjutkan pekerjaan kalau mereka tidak mendapat jaminan perlindungan dari penguasa.
Memang bekas kampung yang terbenam tersebut memiliki daya tarik yang besar bagi wisatawan asing. Tak hanya itu, jika proyek miliaran rupiah ini berhasil maka dapat menambah investasi penguasa. Eh, salah…maksudnya bagi warga yang menghuni pulau tersebut.
Agata jadi heran mengapa warga begitu nekat menolak niat baik ini? Adakah sesuatu yang terselip dari nurani mereka yang mesti diperjuangkan?
*
Sebulan kemudian Agata menatap keadilan itu tercabik dari dinding kegelisahan. Maut bisa saja datang secepat dini. Hidup ini singkat tapi kebenaran itu selalu panjang. Mungkin kematian adalah jalan membuka mata setiap orang bahwa keadilan selalu membutuhkan korban. Kemarin sekali ribuan orang berkumpul di depan gedung terhormat. Mereka mendaraskan litani-litani panjang sepanjang jalan. Tuntutan mereka Cuma satu. Kembalikan kebenaran yang telah dipasung oleh pemimpin negeri ini. Tak ada cakap yang lebih jauh selain laras panjang meletup jauh. Puluhan orang jatuh di jalan bersimbah darah. Mata Agata berkaca-kaca menyaksikan peristiwa itu. Ia mengambil laras dari seorang perwira dan mengacungkan di dadanya sendiri.
“Semoga kebenaran ini pulih di tanah yang keramat ini. Tuan yang kami pilih tolong beri anak-anak kami makan dari rasa lapar akan kebenaran.”
Setelah menyeruhkan kalimat tersebut, Agata menarik laras itu. Prakkkk….ia jatuh bersimbah darah. Siapa yang berani menarik laras untuk kedua kalinya hari ini?
(Penulis : Arnold Purab)