Penulis : Welhelmince Bali Ate (Mahasiswa Universitas Katolik Weetebula)
SUMBA BARAT DAYA, || Sebagai makhluk sosial, hubungan satu manusia dengan manusia lainnya tidak selalu berlangsung mulus. Terkadang ada saja gesekan yang diakibatkan perbedaan cara pandang atau pemikiran individu yang berbeda. Kemampuan menghadapi konflik semacam itu menjadi hal yang sangat penting dimiliki, terutama bagi anak-anak usia remaja dan orang tuanya. Dalam tulisan ini, mari kita lihat beberapa konflik yang dapat menimpa remaja dalam suatu keluarga. Dengan mengetahui bentuk-bentuk konflik meminimalkan konflik yang berpotensi pada perpecahan.
Remaja awal merupakan waktu ketika konflik antara remaja dan orang tua meningkat tajam. Biasanya ini terjadi bersamaan dengan perubahan fisik dan kemampuan daya pikir anak yang berkembang dan menemukan cara pandang baru. Peningkatan konflik ini sebaiknya ditangani dengan diskusi seiring seperti dalam perubahan biologis saat pubertas, perubahan konflik meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan identitas, dan perubahan sosial pada orang tua yang memasuki usia dewasa masyarakat.
Banyak konflik yang meliputi kejadian keseharian kehidupan keluarga seperti membersihkan kamar, kerapian berpakaian, jam pulang, hingga tidak berbicara di telepon selamanya. Pada masa remaja awa, konflik jarang melibatkan obat-obatan dan penyimpanan. Dalam salah satu penelitian oleh Laursen pada tahun 1995, remaja awal terhadap ibu daripada teman, pacar, saudara, ayah, atau orang dewasa lainnya.
Salah satu penelitian oleh Judith Smetana pada tahun 1997 mengungkapkan bahwa konflik orang tua dan remaja dapat diselesaikan dengan mempertimbangkan perubahan sosial kognitif remaja yang berhubungan dengan perbedaan pendekatan orang tua dan remaja dalam menentukan pendirian. Misalnya dalam pemilihan pakaian yang dikenakan remaja, orang tua dapat memberikan masukan dengan baik, tetapi tidak harus sampai memaksa.
Peningkatan kebebasan sebagian remaja kerap dianggap oleh para orang tua sebagai pemberontakan. Namun secara Psikologi, Keluarga yang sehat menyesuaikan dorongan Pada remaja untuk mencapai kebebasan dengan memperlakukan remaja dengan cara lebih dewasa dan lebih melibatkannya dalam pengambilan keputusan keluarga. Sementara itu, Keluarga yang tidak sehat secara Psikologi lebih sering mengungkit-ungkit kekuasaan orang tua.
Pencarian jati diri remaja dan otonomi juga kerap menimbulkan kebingungan dan konflik bagi banyak orang tua. Satu aspek penting dalam otonomi adalah otonomi emosi, yang merupakan kapasitas melepaskan ketergantungan seperti anak kecil kepada orang tua. Peningkatan otonomi pada remaja terkadang membuat sosok orang tua seperti orang lain di luar keluarga. Perbedaan generasi biasanya memberikan otonomi lebih bebas pada remaja dan pria dan pada remaja perempuan. Perbedaan gender ini di temukan pada keluarga tradisional yang menerapkan peran gender.
Pola asuh otoriter biasanya berhubungan rendahnya otonomi remaja. Sementara itu, pola asuh demokratis biasanya berhubungan dengan meningkatnya otonomi remaja. Dalam hal ini, pencapaian otonomi remaja sering beragam sesuai budaya, orang tua, dan remaja sendiri. Sebagai contoh, otonomi dini pada remaja lebih banyak terjadi pada masyarakat berkulit putih.
Banyak pula kaum muda yang mengalami otonomi pada saat meninggalkan rumah untuk kuliah. Mahasiswa bisanya memperlihatkan ketergantungan secara Psikologi pada orang tuanya dan kurang bergaul dibandingkan dengan kakak kelasnya. Kemudian, mahasiswa secara umum lebih memiliki ketergantungan secara Psikologi dari pada mahasiswa. Menariknya, penelitian dari Holmbeck dkk pada tahun 1995 menunjukkan bahwa mahasiswa yang pergi jauh dari rumah untuk kuliah justru lebih dekat dengan ibunya, sedikit konflik dengan orang tua, dan lebih bisa mengambil keputusan dan otonomi dari pada mahasiswa yang tinggal di rumah.
Konflik antara remaja dan orang tua kadang berujung kabarnya remaja dari rumah secara umum, remaja lari dari rumah karena ketidaknyamanan mereka berada dalam rumah. Banyak yang pergi dari rumah karena penyiksaan orang tua atau orang dewasa lainnya. Ada pula orang tua pecandu obat atau alkohol. Pada beberapa kasus, bisa jadi karena orang tua tidak mampu menafkahi dengan baik. Orang tua yang cepat marah maupun orang tua yang gagal memberikan perhatian pada remaja menjadi penyebab kaburnya remaja dari rumah.
Remaja yang kabur dari rumah bukan hanya dari kalangan sosial ekonomi yang lemah. Pada kalangan sosial ekonomi menengah, biasanya remaja memutuskan untuk kabur dari rumah ketika sudah dengan orang tua yang bermula dua, orang-orang yang mengaturnya. Sedangkan mereka hidup dengan bebas dan idealisme-idealisme yang salah.
Kabur dari rumah sering kali merupakan proses yang bertingkat. Mulanya remaja jarang di rumah dan lebih banyak di jalan atau dengan teman. Orang tua biasanya mengingatkan tapi mereka tidak mengerti kenapa harus dirumah dan mengapa orang tua harus peduli mereka.
Beberapa teori sempat diungkapkan pada penelitian untuk memilih konflik orang tua dan remaja. Salah satunya adalah teori kelekatan yang diajukan oleh Mery Ainsworth pada 1979 dan Jhon Bowiby pada 1989. Mereka mengatakan bahwa kelekatan akan dan orang tua pada masa balitan merupakan pokok pengembangan kemampuan sosial anak ketika beranjak remaja. Pada peneliti lainnya, misalnya Liberman ddk. Pada tahun 1999, menyatakan bahwa kelekatan di masa tersebut berhubungan positif dengan relasi teman sebaya dan pertemanan.
Pada akhirnya konflik antara remaja dan orang tua selalu dapat di pecahkan jika komunikasi antara mereka berlangsung baik dan terbuka. Kondisi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya tidak bisa di pukul rata. Berbagai faktor yang telah yang telah di ungkapkan, seperti kondisi fisik, budaya dan agama, kelekatan sangat berpengaruh dalam resolusi konflik Remaja Dan orang tua.
(MSS**)