KOTA CIMAHI // UU Nomor 23 Tahun 2004, mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau.
Artikel ini dibuat dan ditayangkan kembali oleh Media online Sergap.co.id hanya sekedar mengulas akan pentingnya peran dan tanggungjawan seorang suami terhadap istri.
Ini seringkali dijumpai dan banyak terkait Pelanggaran yang dibuat oleh oknum para suami yang tidak beryanggungjawab atas apa yang menimpa kepada.pasangannya. pada sabtu (18/11/23).
Maka pentingnya artikel tersebut untuk di baca kembali dan di hayati bagi semua kaum.hawa dan kaum adam.
korban.
Melacak Munculnya Kekerasan Domestik Secara biologis, jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan mempunyai rahim, mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan lain sebagainya. Sifat nature perempuan ini mempunyai hubungan timbal balik dengan alam, karena sifatnya yang produktif dan kreatif.
Perempuan merupakan produsen sistem kehidupan yang baru. Adapun, laki-laki identik dengan yang mengeksploitasi alam. Kekuatannya diarahkan untuk menguasai dan menaklukkan alam sesuai dengan keinginan dan kepentingannya.
Hal ini menyebabkan relasi kuasa dan eksploitasi antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan subordinasi perempuan. Masyarakat dan budaya mengkonstruksi perbedaan hubungan antara laki-laki dan perempuan tersebut untuk membedakan peran dan tugasnya.
Berdasarkan struktur biologisnya, laki-laki diuntungkan dan mendominasi perempuan.
Perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh adanya perbedaan biologis atau jenis kelamin.
Teori nurture melihat perbedaan tersebut sebagai hasil konstruksi budaya dan masyarakat yang menempatkan laki-laki lebih unggul dari perempuan.
Kelemahan struktur biologis perempuan menempatkannya pada posisi yang marginal dalam masyarakat. Perempuan dianggap tidak memiliki kekuatan fisik, lemah, emosional, sehingga hanya berhak mengerjakan pekerjaan yang halus, seperti pekerjaan rumah, mengasuh anak, dan lain-lain.
Relasi sosial dilakukan atas dasar ukuran laki-laki. Perempuan tidak berhak melakukan hubungan tersebut.
Dengan perbedaan semacam ini, perempuan selalu tertinggal dalam peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam nilai sosial yang berbeda.
Konstruksi jender dalam masyarakat itu telah terbangun selama berabad-abad membentuk sebuah budaya yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Teori pembelajaran sosial (Social Learning Theory) menjelaskan bahwa kita belajar banyak tentang tingkah laku kita dalam konteks interaksi dengan orang lain.
Teori ini beranggapan bahwa perilaku hubungan seks misalnya, dapat dipelajari tanpa meneliti ketika proses pembelajaran berlanrgsung, tetapi melalui observasi terhadap orang lain dan kejadian lain.
Misalnya jika kita melihat seseorang dihukum karena melakukan hubungan seks pra nikah, kita harus menghilangkan kesukaan pribadi pada hubungan serupa itu. Untuk masalah penyerangan seksual secara luas, teori ini menggaris bawahi factor-faktor yang betul-betul penting dari pengalaman masa lalu, seperti pengaruh pengasuhan, norma-norma social, kejadian biologis, dan bagaimana pengalaman seksual terakhir membentuk cara berpikir dan cara bertindak secara seksuaL
Hasil penelitian tentang kekerasan terhadap istri dan kesehatan perempuan di Jawa Tengah memperlihatkan data tentang perempuan yang ayahnya pernah memukul ibu mereka, atau mertuanya talah memukul istrinya, lebih mungkin dianiaya oleh suaminya.
Hasil serupa ditemukan dalam banyak studi internasional yang lain di Amerika serikat, Amerika Latin, dan Asia. Pada umumnya, para peneliti percaya bahwa perempuan yang tak terlindungi terhadap kekerasan semasa kecilnya mungkin akan melihatnya sebagai suatu kejadian yang normal, dan karenanya tak pernah memperhatikan tanda-tanda peringatan dari suami penganiaya.
Disisi lain, jika seorang anak laki-laki menyaksikan ayahnya memukul ibunya, dia akan belajar bahwa hal itu adalah jalan terbaik untuk memperlakukan perempuan, dan karena itu dia lebih mungkin untuk kemudian menganiaya istrinya sendiri.
Ini disebut sebagai “penularan kekerasan antar generasi (intergenerational transmission of violence)”.
Proses inkulturasi dalam rumah tangga yang dilakukan melalui proses pengasuhan anak, menjadi cara belajar peran jender yang paling effektif tentang bagaimana menjadi laki-laki dan bagaimana menjadi perempuan yang diizinkan oleh masyarakat
Luce Irigaray, seorang feminis postmodernisme dari Perancis menandaskan bahwa “demokrasi dimulai dari rumah”. Demokrasi yang menanamkan nilai-nilai hak asasi manusia, kesetaraan dan kebebasan, menurutnya, ditanamkan pada awalnya dari rumah. Oleh sebab itu, ia yakin benar bahwa peranan ibu atau perempuan dalam mendidik anaknya di rumah menjadi sangat menetukan.
Terutama pendidikan yang mengajarkan saling mengasihi, pengembangan aspek emosional, kesensitifan, keperdulian dan keterhubungan satu sama lain menjadi penting.
wilayah domestik juga dianggap sebagai tindak kejahatan. Transformatif bermakna tidak hanya perubahan dalam traktat hukum, melainkan modifikasi mekanisme hukum yang adil bagi perempuan. Feminist legal theory memperjuangkan konsep hukum yang didasari oleh pengalaman perempuan sebagai starting point. Kesadaran hukum bagi perempuan pun perlu dibangun untuk memperoleh hak-hak dan kesempatan yang sama.
Jika ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam menempatkan posisi laki-laki dan perempuan adalah konstruksi masyarakat, maka kekerasanpun adalah bagian dari konstruksi itu. Masyarakat bertanggung jawab atas pembelajaran tentang bagaimana menjadi laki-laki, sehingga laki-laki mengaktualisasi kemaskulinannya melalui tampilan diri yang macho, gagah, kuat, agresif. Maka sekarang saatnya bagi masyarakat mengubah pelabelan jender ini menjadi lebih manusiawi, sehingga cara-cara mengaktualisasikan diri juga menjadi lebih assertif di masyarakat. Dengan demikian, keadilan jender sebagai suatu kondisi dan perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki dapat terwujud. Diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan hal-hal yang secara psikis, politik, dan sosial budaya menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil dari perannya itu. Kesetaraan yang adil merupakan suatu konsep yang mengakui faktor-faktor khusus seseorang serta memberikan haknya sesuai dengan kondisi orang tersebut (person-regarding equality). Jadi, bukan memberikan perlakuan yang sama kepada individu yang berbeda kebutuhan dan aspirasinya, tapi memberikan perhatian yang sama kepada setiap individu agar kebutuhannya dapat terpenuhi.
Sudah waktunya pemerintah bersama-sama masyarakat mencanangkan Zero tolerance terhadap kekerasan. Artinya tidak ada toleransi sekecil apapun terhadap tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Kebijakan ini sebagai bagian dari penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini sejalan dengan PBB (united Nations) yang telah membentuk Komisi Kedudukan Perempuan (Commission on the Status of Women) yang bertugas menentukan langkah-langkah, kebijakan, serta memantau tindakan PBB bagi kepentingan perempuan. Hal ini dilakukan karena PBB melihat bahwa diskriminasi terhadap perempuan tetap berlangsung di banyak negara sehingga perlu dikeluarkannya sebuah Deklarasi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan.