Menangani Risiko Bahan Berbahaya dan Beracun: Tantangan dan Tanggung Jawab di Jawa Barat

Sergap.co.id

BANDUNG – Banyak orang menganggap istilah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) identik dengan limbah B3. Namun, bahaya sebenarnya seringkali berasal dari material atau zat itu sendiri sebelum digunakan dalam proses industri.

Selama bertahun-tahun, Provinsi Jawa Barat mengalami sejumlah insiden yang mengakibatkan korban, baik di kalangan pekerja maupun masyarakat, akibat dampak bahan B3. Korban yang muncul bervariasi, mulai dari dampak kecil hingga kasus yang merenggut nyawa. Ini merupakan dampak akut, tetapi sering diabaikan bahwa ada juga dampak kronis yang muncul dan dirasakan dalam jangka panjang. Ironisnya, monitoring terhadap dampak ini jarang dilakukan.

Bahan berbahaya dapat ditemukan di berbagai komunitas, termasuk di hampir setiap rumah, rumah sakit, dan pabrik. Setiap hari, bahan berbahaya dikirim melalui jalur darat, udara, dan laut. Pertumbuhan industri yang pesat di Jawa Barat berkontribusi lebih dari 40% terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Baru-baru ini, dua kawasan industri baru di Subang dan Patimban telah diresmikan, yang direncanakan akan menampung pabrik-pabrik yang menggunakan dan menghasilkan B3, seperti pabrik petrokimia dan manufaktur Battery EV.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan kegagalan teknologi, sedangkan Perda Nomor 23 Tahun 2012 mewajibkan penyelenggaraan sistem kedaruratan oleh pelaku usaha dan pemerintah daerah. Namun, hingga kini, pelaksanaan dari peraturan tersebut masih sangat minim.

Kang Cakra, Ketua Rumamah Gagasan, menekankan bahwa sistem penanggulangan kedaruratan B3 jauh lebih kompleks dibandingkan penanganan bencana alam. Kelemahan dalam perencanaan pembangunan yang tidak mempertimbangkan risiko bahaya menjadi faktor utama, selain kurangnya kesadaran dan kepedulian dari pejabat berwenang di Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal ini disampaikan dalam pertemuan audiensi dengan pihak pemerintah daerah melalui Inspektorat Provinsi Jabar dan BPBD Jabar, pada Kamis (3/10/2024).

Kang Cakra juga menjelaskan bahwa masukan masyarakat telah disampaikan kepada Pemprov Jabar, yang menghasilkan kesepakatan pada 16 Januari 2024. Pemerintah Daerah Provinsi Jabar menilai penting untuk melaksanakan sistem kedaruratan B3. Namun, hingga awal Oktober 2024, realisasi kesepakatan tersebut masih belum terlihat, terkesan diabaikan.

Dengan meningkatnya jumlah korban di kalangan pekerja industri dan masyarakat sekitar, tanggung jawab ini jelas berada di tangan pejabat berwenang. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023, setiap pejabat yang sengaja tidak melakukan pengawasan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dapat dikenakan sanksi pidana.

Kang Cakra menegaskan bahwa tanpa regulasi yang tepat, perencanaan yang terstruktur, peningkatan kemampuan penanganan, koordinasi multisektor, peralatan yang memadai, pelatihan yang tepat, dan gladi kedaruratan yang mempertimbangkan aspek bahaya secara menyeluruh, keselamatan jiwa masyarakat, petugas pertolongan darurat, dan petugas medis akan sangat terancam. Tanpa langkah-langkah ini, keselamatan akan tetap menjadi ancaman serius.

(Dw)**

Pos terkait

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.