Memotong Rambut Siswa Secara Paksa

Penulis: Stefani Densi Kadi, mahasiswi Universitas Katolik Weetebula Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik.

SERGAP.CO.ID

Bacaan Lainnya

SUMBA BARAT DAYA || Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Dalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Dalam pasal 39 ayat 1 menyebutkan bahwa “Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan kedisiplinanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya”. Dalam ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa teguran atau peringatan, baik lisan maupun tulisan serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.

Salah satu peraturan yang ditetapkan di sekolah adalah siswa laki-laki tidak boleh berambut panjang atau gondrong. Di indonesia siswa yang berambut gondrong menggambarkan kepribadiannya kotor, tidak displin, dan tidak terpelajar. Hal ini dikarenakan banyaknya laki-laki yang berambut gondrong menjadi pelaku tindakan kriminal seperti tawuran. Oleh karena itu untuk menjaga imej sekolah, maka beberapa sekolah di indonesia pun menerapkan peraturan bahwa siswa laki-laki tidak boleh gondrong. Peraturan ini dimulai sejak pemerintahan orde baru atau semenjak tahun 60an. Hingga saat ini, sangat penting bagi seorang siswa laki-laki untuk bisa bernampilan rambut rapi dan tidak gondrong.

Namun hal yang tidak harus dilakukan guru di sekolah adalah memotong rambut siswa secara paksa, tanpa terlebih dahulu memberi teguran atau peringatan agar siswa tersebut dapat memotong rambutnya. Jika hal ini terjadi di sekolah maka akan menimbulkan konflik antara guru, siswa dan orang tua siswa. Memotong rambut siswa dengan secara paksa dapat dikatakan sebagai diskriminasi terhadap siswa dan bisa berujung pidana. Dalam undang-undang kekerasan anak telah mengatur, seperti pada pasal 77 huruf a UU Perlindungan anak yang isinya, setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskrimanasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian baik material maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 100 juta. Jelas dalam tatanan hukum guru yang memotong rambut siswa bisa dipidana apabila siswa dan orang tua murid merasa keberatan.

Hal tersebut ditegaskan Sekretaris Gerakan Pemuda Anti Korupsi (Gerpak) Sulbar, Muh Arifin. Menurutnya, banyak cara yang bisa dilakukan seorang guru bila ingin menegur siswanya yang berambut panjang (gondrong), bukan serta merta memberikan hukuman tanpa diawali teguran pertama hingga ketiga melalui surat kepada orang tua wali murid atau sekarang era digital lebih canggih lagi dengan WA group orang tua sesuai peraturan sekolah dengan menyebutkan berapa centimeter panjang rambut siswa bukan dengan cara langsung memotong.

Dengan tantangan tenaga pengajar zaman sekarang yang semakin sulit, maka sangat perlu membangun banyak strategi atau cara-cara yang digunakan untuk memberikan pehamanan yang tepat kepada siswa. Pertama guru-guru juga mesti memiliki strategi pemberian sanksi yang lebih edukatif. Sebab meski niat guru baik, tapi tidak serta merta semua penerapan disiplin tersebut dapat dipahami oleh para siswa. Untuk itu, penting untuk para guru dalam menerapkan sanksi yang lebih edukatif kepada para siswa, sehingga dapat diterima dengan baik. Para siswa mesti diberikan pemahaman yang lebih baik mengenai aturan yang ada di sekolah. Disisi lain, pihak sekolah juga sudah semestinya melakukan sosialisasi mengenai regulasi yang ada.

Yang kedua komunikasi yang baik antara tenaga pengajar dan para murid juga akan membantu kedua pihak saling memahami. Sehingga siswa akan lebih patuh pada aturan. Dengan begitu, baik tenaga pengajar maupun siswa dapat menjalankan kegiatan di sekolah dengan lancar.

Jika komunikasi yang dilakukan guru dan siswa belum tercapai, maka bisa melibatkan orang tua. Gunanya agar semua penerapan bisa dilakukan dengan adanya kerja sama seluruh pihak. Tindakan guru yang bermaksud mendisiplinkan siswa dalam rangka menegakkan disiplin di sekolah hendaknya tidak menyinggung perasaan siswa dan orang tuanya. Hendaknya hubungan antara guru atau sekolah dengan orang tua siswa perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahpahaman (miskomunikasi). Dan guru harus menjelaskan semua peraturan yang diterapkan di sekolah kepada orang tua murid, sehingga mereka dapat mengetahuinya supaya tidak terjadi kesalahpahaman antara guru dan orang tua murid.

(MSS**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *