Restorative Justice, Terobosan Kejaksaan RI

SERGAP.CO.ID

SUMBA BARAT, || Fiat justisia ruat coelum, mengawali tulisan ini, saya mengutip adagium latin yang berarti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. Adagium ini menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum. Dalam praktiknya, adagium tersebut seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit dengan dalih penegakan dan kepastian hukum.

Bacaan Lainnya

Sejatinya dalam instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah diatur mengenai tata cara atau prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan perkara pidana. Namun dalam praktiknya sering ditemukan bahwa instrument hukum tersebut justru masih jauh dari prinsip keadilan di mata masyarakat.

Penulis mengambil contoh, penerapan hukum terhadap kasus nenek Minah dan kakek Samrin yang harus mendekam dibalik jeruji besi sebagai terpidana. Nenek Mina didakwa melakukan pencurian tiga buah kakao kemudian divonis 1 (satu) bulan dan 15 (lima belas) hari dengan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan. Selanjutnya kasus sejenis yakni kakek Samrin yang divonis 2 (dua) bulan 4 (empat) hari karena mencuri getah. Tuntutan dari kasus tersebut telah mengusik rasa keadilan banyak pihak, banyak kalangan yang akhirnya mempertanyakan dimana letak hati nurani aparat penegak hukum, hal itu disampaikan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Unsoed.

Penulis sependapat dengan pernyataan tersebut, dengan mengingat adagium Aequitas sequitur legem yang artinya antara hukum dan keadilan tidaklah dapat dipisahkan. Tugas penegak hukum adalah memberikan keadilan bagi siapapun yang memohon “ad officium justiciariorum spectat unicuique coram eis placitanti justitiam exhibere”. Tentu dalam sebuah penerapan hukum harus dikedepankan pertimbangan-pertimbangan yang seimbang sehinga tidak semua perbuatan pidana berakhir di penjara.

Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan mekanisme penegakan hukum berbasis keadilan restoratif.

Restorative Justice

Istilah Restorative Justice diciptakan oleh seorang psikolog Albert Eglash pada tahun 1977, dalam tulisannya tentang ganti rugi atau pampasan (reparation). Lebih lanjut Howard Zehr berpendapat- Restorative justice is a process to involve, to the extent possible, those wo have a stake in a specific offense and to collectively identify and address harms, needs, and obligation, in order to heal and put things as right as possible”. (Keadilan restoratif adalah suatu proses untuk melibatkan, sejauh mungkin, mereka yang memiliki kepentingan dalam pelanggaran tertentu dan untuk secara kolektif mengidentifikasi dan mengatasi kerugian, kebutuhan, dan kewajiban, untuk menyembuhkan dan memperbaiki keadaan sebaik mungkin) terjemahan bebas penulis.

Dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, keadilan restoratif diartikan sebagai penyelesaian perakara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa esensi dari Restorative Justice adalah konsep penyelesaian perkara pidana yang dilakukan dengan melibatkan semua pihak terkait, serta menggunakan pendekatan keseimbangan (the balanced approach).

Konsep dan Praktik Keadilan Restoratif

Berkaitan dengan hal tersebut diatas Kejaksaan RI mebuat terobosan dengan lahirnya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Narkotika melalui Rahabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.

Berkenaan dengan hal itu, penting digaris bawahi bahwa lahirnya ketentuan tersebut tidak lepas dari kewenangan kejaksaan sebagai pengendali perkara “dominus litis” atau hanya jaksa yang dapat menentukan seseorang dapat masuk ke ranah pengadilan atau tidak.

Penyelesaian perkara tindak pidana melalui mekanisme restorative justice dilakukan dengan mengedepankan kemanfaatan (doelmatigheid), mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta asas pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Namun tentu ada cakupan tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mekanisme Keadilan Restoratif tersebut, yakni : Kesatu, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, kedua, tindak pidana hanya diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, ketiga, tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp.2.500.000.- (dua juta lima ratus ribu rupiah), keempat, telah ada pemulihan Kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka, kelima, telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka, dan keenam, masyarakat merespon positif.

Selajutnya Kejaksaan turut menghadirkan “Rumah Restorative Justice” pada tiap satuan kerja, sebagai contoh di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Sumba Barat telah dibentuk rumah RJ yang diberi nama Umma Dame, guna menyerap keadilan di masyarakat, serta untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal yang eksis di tengah masyarakat, adat, dan agama, sehingga akan tercipata kesejukan dan perdamaian yang dapat dirasakan oleh seluruh warga negara. Untuk diketahui hingga bulan juli tahun 2022 Kejaksaaan telah melaksanakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap 1.334 perkara tindak pidana umum dari total 1.454 permohonan.

Dengan adanya mekanisme penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan lahirnya Rumah Restorative Justice tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat kepada seluruh pihak.

Sumber : Alfredo J.M. Manullang, S.H., M.H. | Analis Penuntutan (Calon Ajun Jaksa Madya) Kejaksaaan Negeri Sumba Barat | Alumni MHLi UGM dan FH UNCEN

(Ms/Sergap)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *