Perangkai Riwayat

Perangkai Riwayat

Penulis : Ramli Lahaping

SERGAP.CO.ID

Bacaan Lainnya

Setiap orang punya cara untuk mengenal dan mendekati seseorang yang ia cintai. Begitu pula Rasman. Setelah menaruh hati kepada Santi, ia senantiasa melakukan pemantauan terselubung. Ia akan melihat-lihat penampakan Santi di sela-sela aktivitasnya sebagai pemulung. Ia akan mampir di depan rumah Santi dan mengorek barang-barang buangan biduan terkenal itu untuk mencari tahu tentang kepribadiannya.

Beruntung bagi Rasman, sebab Santi adalah sosok yang ramah dan pemurah terhadapnya. Gadis berusia seperlima abad itu senantiasa berlaku santun dan menghormatinya sebagai lelaki tua yang nyaris berusia kepala lima. Gadis cantik itu tak akan pelit menyapanya, atau sekadar melayangkan senyuman kepadanya. Bahkan tak jarang pula sang gadis menyortirkan dan mengumpulkan barang-barang bekas untuknya.

Meski demikian, mereka jarang mengobrol panjang karena Santi tampak enggan melakoninya. Padahal, Rasman suka berbasa-basi dengannya. Apalagi, Rasman yang hidup sendiri, jelas punya banyak hal yang ingin ia ceritakan. Namun Rasman sadar kalau itu bukan karena Santi tinggi hati. Itu hanya karena Santi memang seorang yang pendiam, yang terbiasa memendam persoalan pribadinya di tengah kehidupannya yang juga menyendiri. 

Hingga akhirnya, empat belas hari yang lalu, Santi kembali keluar dari pagar rumahnya dan mengantarkan barang bekas berupa botol-botol plastik untuk Rasman. Seperti biasa, Santi hanya menyapa pendek dan tersenyum singkat sebelum menyodorkan sekardus barang kumpulannya tersebut, kemudian mengambil langkah untuk pergi. Tetapi serta-merta, Rasman membaca kalau ada yang ganjil di balik wajah Santi.

Karena itu, Rasman tak ingin sekadar mengucapkan terima kasih. Ia sungguh tak bisa menahan kekhawatirannya, sebab ia tahu betul kalau keadaan Santi tidak baik-baik saja. Dan akhirnya, ia mencegat dengan lekas bertanya, “Kamu kenapa, Nak? Kok tampak pucat?” 

Santi kembali melayangkan senyuman dengan otot wajah yang kaku, lalu menggeleng keras. “Tidak kenapa-kenapa, Pak. Aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit kelelahan.”

Rasman balas tersenyum dan berupaya meredam kecemasannya. “Syukurlah,” tanggapnya, lantas menyampaikan kepeduliannya, “Kamu mesti menjaga diri baik-baik. Jaga kondisi tubuh, juga hati dan pikiran. Kalau kamu sakit, orang-orang di hajatan akan bersedih karena kehilangan biduan idola mereka,” tuturnya, setengah menggoda.

Santi pun tersenyum lebar. “Iya, Pak. Terima kasih sudah mengingatkan.”

Seketika, Rasman merasa dirinya sangat berarti. 

Dan akhirnya, obrolan mereka kembali berakhir. Santi melangkah masuk ke dalam rumahnya, dan Rasman mesti pulang dengan pertanyaan-pertanyaannya. Memang hanya akan selalu begitu, sebab Rasman terlalu sungkan mengulik, sedang Santi terlalu enggan berbagi cerita. Tetapi Rasman sudah cukup senang seusai melakoni obrolan singkat semacam itu. Setidaknya, mereka telah berbagi kesan secara langsung. 

Mereka memang jarang berbincang lama, tetapi Rasman tak kehilangan jalan untuk mengenal Santi. Dengan pekerjaannya sebagai pemulung, Rasman mencari tahu dengan caranya sendiri. Ia akan senantiasa mengais barang-barang buangan Santi di tempat sampah demi menyelisik rahasia keseharian artis tersebut. Hingga akhirnya, Rasman bisa memahami kehidupan Santi, termasuk aspek-aspek yang bersifat pribadi.

Rutinitas sebagai pemulung, memang memungkinkan Rasman untuk menyelami privasi Santi. Tanpa perlu melakukan aksi spionase layaknya agen inteligen, Rasman bisa memperoleh informasi tentang diri Santi beserta problematikanya. Secara mudah dan tanpa risiko, ia bisa mendapatkan barang-barang yang menggambarkan perilaku Santi di tempat sampah, entah bekas kemasan makanan atau minumannya, pakaiannya, dan lainnya. 

Seiring dengan aksi penelusuran dan pendalamannya, Rasman pun jadi makin mencintai Santi. Ia menyenangi segala hal tentang Santi, dan ia sangat ingin memilikinya. Karena itu, ia lantas memperlakukan barang-barang buangan Santi secara istimewa. Ia tidak menyortirnya dan menjualnya kepada pedagang barang bekas. Ia malah akan membersihkannya, lantas mengemasnya baik-baik di dalam kamarnya.

Setelah sekian lama, Rasman pun berhasil menyusun replika penampakan Santi di dalam bilik sendirinya. Ia menyelubungi sebuah maneken dengan bekas pakaian Santi berupa jaket, baju, rok, wig, sepatu, juga dalaman. Ia lantas menempelkan gambar wajah Santi yang ia dapat di halaman kalender pada muka maneken tersebut. Tak luput, ia meletakkan segala macam pernak-pernik bekas Santi di sekeliling replika itu. 

Akhirnya, dengan kehadiran rangkaian replikanya, Rasman merasa telah berhasil menghadirkan Santi di sisinya. Setiap waktu, kala ia berada di dalam kamarnya, ia akan memandang-mandang replika itu untuk meluruhkan segenap perasaan cintanya, juga untuk meredam rindunya yang begitu cepat menggunung terhadap Santi. Dengan cara itu, ia pun akan berhasil menenangkan gejolak perasaannya.

Atas kasih sayangnya kepada Santi itulah, belakangan, Rasman dirundung kegalauan. Ia jadi sangat mencemaskan keadaan Santi. Pasalnya, sejak percakapan singkat mereka dua minggu yang lalu, dan hari-hari setelahnya, ia merasa keadaan Santi makin mengkhawatirkan. Ketika bertandang untuk memulung, ia makin jarang menyaksikan keberadaan Santi di rumahnya. Kalaupun terlihat, ia tak akan lagi mendapatkan sapaan atau senyuman darinya.

Kecemasan Rasman kemudian makin menjadi-jadi. Ia mulai menemukan barang-barang buangan Santi yang menunjukkan kalau gadis itu sedang mengalami masalah berat. Ia kerap menjumpai botol-botol minuman keras, juga kemasan-kemasan obat antidepresan di tempat sampahnya. Karena itu, ia mulai meningkatkan perhatiannya demi memastikan kalau sang perempuan yang ia cintai itu tidak jatuh ke dalam petaka.

Lalu perlahan-lahan, ia pun mulai memahami penyebab keterpurukan Santi. Dari mulut-mulut warga sekitar, ia mendengar juga isu bahwa Santi merupakan wanita simpanan seorang pengusaha besar di kabupaten mereka. Akhirnya, tanpa keraguan, Rasman pun meyakini kalau cerita miring itu adalah penyebabkan memburuknya keadaan Santi. Apalagi, gosip semacam itu pasti akan membuat Santi kehilangan nama baik sebagai seorang artis.

Hingga akhirnya, tiga hari yang lalu, kekhawatiran Rasman memuncak. Sudah empat hari berturut-turut, isyarat keberadaan Santi tak lagi terbaca. Tong sampahnya tak lagi memuat buangan sampah yang baru. Padahal sebelumnya, ia rutin membuang sampah setiap hari. Karena itu, Rasman diselimuti kecemasan kalau-kalau terjadi apa-apa dengan Santi. Maka tanpa pertimbangan lagi, ia pun bertekad masuk ke rumah Santi untuk mencari tahu apa yang terjadi. 

Setelah ketukan pintu dan seruan salamnya tidak terjawab, Rasman lalu bertindak nekat. Ia memutuskan untuk menerobos masuk melalui jendela belakang yang tak terkunci. Ia lantas menelusuri segenap sisi ruangan sembari menyahut-nyahut. Sampai akhirnya, ia menemukan Santi terkulai lemas di atas kasurnya yang berantakan. Dengan perasaan yang kacau, ia cepat-cepat meminta bantuan, hingga Santi dilarikan ke rumah sakit dengan mobil seorang tetangga.

Sampai akhirnya, hari ini, setelah tiga hari perawatan, Santi pun keluar dari rumah sakit. Kekuatan tubuhnya yang hilang karena pola makan yang tidak teratur, kembali pulih setelah ia mengonsumsi makanan yang sehat. Lalu tanpa perlu menyidik, Rasman yang sedari awal mendampingi dan menjaganya, berkeyakinan kalau tuduhan-tuduhan perselingkuhan, memang adalah penyebab Santi stres dan mengabaikan kesehatannya. 

Dan kini, setelah kembali ke rumahnya, Santi tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih atas pertolongan dan perhatian Rasman. Namun Rasman berupaya menepisnya dengan mengatakan kalau tindakannya adalah hal yang wajar.

Sekian lama kemudian, mereka kembali terlibat basa-basi yang panjang, sebagaimana keinginan Rasman sedari dahulu. Mereka pun makin akrab satu sama lain.

Hingga akhirnya, Rasman jadi tak bisa meredam rasa penasarannya untuk mengulik sebab kekusutan perasaan Santi yang membuatnya jatuh sakit.

“Nak, apa kondisimu yang buruk barusan terjadi karena gosip miring orang-orang?” tanya Rasman kemudian, tanpa merincikan pokok singgungannya.

Tetapi Santi mengerti sasaran pertanyaan Rasman. “Tidak akan ada perempuan yang sanggup menerima omongan orang-orang yang menuduhnya sebagai wanita simpanan. Itu adalah tuduhan yang menyakitkan dan memalukan. Itu membuat hidupku serasa tidak lagi berharga.”

Rasman mengangguk-angguk setuju. “Tetapi sedari awal aku telah yakin kalau gosip itu tidaklah benar,” responsnya, dengan sebisa mungkin tidak menyudutkan Santi, sembari berharap gadis itu menguraikan ceritanya dengan sendirinya.

Santi mengangguk tegas. “Ya. Terima kasih,” tanggapnya, begitu saja. 

Karena tak mendapatkan penjelasan yang diinginkannya, Rasman pun jadi terdorong untuk mengulik dengan bahasa yang halus, “Tetapi, kenapa gosip itu bisa berkembang, ya? Siapa yang mengembuskannya? Apa kau punya musuh?”

Seakan berat untuk bertutur, Santi pun menarik dan mengembuskan napas yang panjang. “Entahlah. Tetapi aku menduga pelakunya adalah lawan bisnisnya yang ingin menghancurkan perusahaannya dengan memanfaatkan permasalahan hubungan di antara kami berdua,” tuturnya, lantas terdiam.

“Memangnya, ada masalah apa di antara kalian?” selisik Rasman.

Santi lantas mengempaskan badannya ke sandaran sofa, lalu menguraikan, “Aku dan pengusaha itu memang dekat. Aku punya banyak jadwal bernyanyi dengan bayaran yang besar darinya. Entah untuk acara perusahaannya, atau untuk acara rekan-rekannya. Karena itu, aku berusaha baik kepadanya. Aku bahkan telah menganggapnya sebagai ayahku sendiri. Aku merasa nyaman, seolah-olah aku telah menemukan sosok ayah yang selama ini tak pernah kurasakan. Tetapi ternyata, ia menganggapku lebih dari sekadar partner acara. Ia ingin aku menjadi kekasih gelapnya. Tetapi aku jelas menolak. Aku pun mencoba untuk tidak lagi berhubungan dengannya. Sampai akhirnya, pada satu malam…” Ia terdiam, seperti tak kuasa merampungkan ceritanya. 

“Kenapa?” tanggap Rasman, berharap penjelasan tuntas. 

“Ia memerkosaku! Dan sekarang, aku hamil!” ungkap Santi, lantas melepaskan tangisannya. “Aku ingin mengutarakan kenyataan itu kepada orang-orang. Tetapi kurasa, mereka tak akan percaya, dan itu hanya akan membuatku makin kehilangan harga diri.”

Seketika, emosi Rasman melonjak. Ia tak terima gadis kesayangannya dilukai. Ia sungguh ingin menimpakan balasan yang pedih kepada pengusaha itu.

Namun serta-merta, penyesalan menyeruak di dalam hati Rasman. Itu karena sejatinya, dirinyalah yang bersalah sebab gagal menjadi orang tua. Dahulu, ia telah memaksa pacarnya untuk membuang bayi hasil hubungan gelap mereka. Dan bayi itu adalah Santi.

Akhirnya, Rasman tak tahu harus berbuat apa selain melontarkan kata-kata penyemangat untuk membesarkan hati Santi agar kembali kuat menjalani kehidupannya. (**)

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.