SERGAP.CO.ID
OPINI, || Dalam tataran teoritis yang sangat ideal tentunya berharap agar tata kelola pemerintahan baik di pusat sampai ke daerah, bahkan sampai tingkat pemerintahan desa diharapkan dikelola dengan baik berdasarkan prinsip – prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih (Good Goverment Governance). Persoalannya cita – cita luhur tersebut ternyata tidak mudah untuk diwujudkan. Banyak upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah dari periode ke periode berikutnya tetapi hasilnya tetap saja belum bisa memuaskan. Hal ini terbukti dari rangkaian peristiwa korupsi yang sering terendus dan akhirnya terbongkar atau tertangkap.
Padahal berdasarkan teori Gunung Es (Iceberg Theory) yang disampaikan oleh Ernest Hemingway menyatakan bahwa sesuatu yang tampak di permukaan atau terlihat sebenarnya hanya sekitar 20 persen, sementara 80 persen tersebunyi di dalam laut. Teori ini sejatinya mengilustrasikan suatu fenomena dalam melahirkan konsep teori atau makna dalam kehidupan. Fenomena gunung es ini sangat relevan menjelaskan berbagai masalah kehidupan, termasuk maraknya perilaku korup yang nampaknya masih jauh dari harapan publik. Jadi kalau ada tindak pidana korupsi yang berhasil dibongkar, maka peristiwa yang tampak tersebut hanya 20% nya saja karena masih ada 80% potensi perilaku korup lainnya yang tidak tampak atau belum diketahui. Oleh karenanya semangat pemberantasan korupsi bisa dilakukan melalui pendekatan teori gunung es ini.
Seorang koruptor pun dapat dideskripsikan seperti gunung es. Apa yang nampak dari dirinya, misalnya melakukan korupsi anggaran, adalah permukaan saja. Mungkin tidak mudah melihat dibalik itu, misalnya bagaimana orang itu menjalankan gaya hidup hedonisnya, tuntutan kemewahan keluarganya, sanjungan dan pujian teman – teman dan tetangga karena “kemurahan hatinya”, peluang korupsi dari sisi tugas, tanggung jawaba dan kewenangannya, lingkungan sosial yang berkarakter “tahu sama tahu”, “saling pengertian”, dan lain sebagainya. Akhirnya seseorang melakukan tindakan koruptif tersebut dianggap dan merasa bukan sikap yang nista lagi. Mungkin dia menganggapnya hal yang biasa, lumrah bahkan mungkin sudah dianggap sebuah kebiasaan yang turun temurun.
Dari sisi lain kalau dicermati lebih dalam ada sesuatu yang menarik karena pelaku korupsi pada umumnya adalah orang yang terdidik bahkan menyelesaikan pendidikan dari perguruan tinggi ternama, baik di dalam maupun di luar negeri. Mereka adalah orang – orang yang dinilai berprestasi makanya mereka diberikan kepercayaan untuk memegang amanah dan kewenangan. Namun sayangnya mereka tidak bisa memegang amanah yang dipikulnya, mereka tidak mampu menjalankan kewenangan sebagaimana mestinya. Padahal semakin besar amanah yang dipegangnya, maka semakin besar peluang untuk melakukan penyalahgunaan wewenangnya. Jadi penekanan sistem pendidikan maupun pelatihan saat ini harus banyak menekankan pada pendidikan karakter untuk mencetak manusia agar bisa memegang amanah, dan bisa menjalankan kewenangan sesuai peruntukannya. Sistem pendidikan ini harus mampu menggugah kesadaran di alam sadar maupun alam bawah sadar seseorang, bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukannya akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan.
Dimana saat itu tidak akan ada lagi lawyer yang bisa dibayar untuk meringankan kasusnya. Tidak ada kewenangan yang bisa digerakan untuk merekayasa kasus. Tidak ada lagi jaringan yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan lobi – lobi agar terbebas dari hukuman. Meskipun sejatinya pendidikan karakter itu menekankan pada sikap yang benar bukan karena takut dengan hukuman, tetapi sikap yang benar ia lakukan karena memang itu yang harus ia kerjakan. Inilah belief, norma, keyakinan dan keteguhan untuk tetap berpegang teguh pada panggilan pengabdian sebagai sebuah kewajiban dari amanah yang ia emban.
Semoga para pakar pendidikan bisa duduk bersama untuk melakukan evaluasi sistem pendidikan selama ini. Bukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi untuk menemukan apa yang masih harus diperbaiki menuju kualitas pendidikan yang berkarakter, yaitu sistem pendidikan yang bisa membentuk watak yang tidak serakah dan tidak haus pujian serta sanjungan. Pola fikir dan pola sikap yang hedonis dan materialistis harus semakin dikikis agar kesuksesan tidak selalu didefinisikan dengan kekayaan dan harta yang berlimpah. Kekayaan yang sesungguhnya adalah kesederhanaan dalam menjalankan hidup yang penuh amanah, ketulusan dalam memberikan pelayanan yang terbaik buat rakyatnya, dan keteguhan hati untuk berpegang pada prinsip kebenaran dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tidak mudah, memang. Tidak gampang, pasti. Tetapi kita tidak boleh berputus asa untuk terus berikhtiar melakukan yang terbaik buat bangsa dan negara. Sebagai warga negara yang baik, setiap insan tentu memiliki kewajiban dan panggilan moral untuk menjaga negeri yang dicintainya agar tetap memiliki marwah dan kehormatan, serta tidak lupa untuk selalu saling mengingatkan dalam kebaikan.
(**)