SERGAP.CO.ID
Saat ini seluruh umat Islam sedang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan di tahun 2021. Kewajiban melaksanakan ibadah shaum ini terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “.
Ada juga hadits tentang puasa Ramadhan dari Thalhah bin Ubaidillah ra bahwa seseorang datang kepada Nabi Muhammad SAW dan bertanya, “Ya Rasulullah, katakan padaku apa yang Allah wajibkan kepadaku tentang puasa? “Beliau menjawab, “Puasa Ramadhan”. “Apakah ada lagi selain itu?”. Beliau menjawab, “Tidak, kecuali puasa sunnah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada dasarnya Allah SWT memerintahkan sesuatu pada umat manusia pasti ada hikmah dibaliknya, meskipun mungkin umat manusia belum mengetahui secara pasti rahasia yang terkandung di dalamnya. Begitupun dengan rahasia dibalik puasa Ramadhan terkait dengan fungsi otak. Ibadah puasa ataupun semua pengaturan laku dalam domain spiritual yang ditujukan untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, pengendalian hawa nafsu dalam wujud hasrat dan syahwat adalah bagian dari prasyarat.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan masalah tersebut dengan merujuk pada tulisan yang menarik dari sahabat DR. Tauhid. Menurutnya, harmonisasi hawa nafsu yang dalam domain fisiologi adalah bagian dari “energi” dan motivasi untuk mempertahankan dan mengoptimasi fungsi kehidupan (survivalitas dan kapasitas defensif) akan menghasilkan orkestrasi fungsi otak manusia. Mulai dari proporsionalitas pemenuhan kebutuhan fundamental sampai rencana aksi yang lebih berorientasi pada aktualisasi diri sebagai bagian dari upaya melegitimasi eksistensi.
Kesadaran yang terbangun dari kemampuan untuk mengendalikan keinginan agar selaras dengan pemenuhan kebutuhan yang rasional dan proporsional tentulah diharapkan secara neuroplastisitas (saat ini dengan kemajuan di bidang optogenetics, berbagai proses pembentukan connectome dapat diamati dengan baik) dapat menghadirkan jejaring neuronal baru yang mampu mengakomodir proses optimasi fungsi menuju terciptanya harmoni nan serasi yang maujud dalam kejernihan pikir, kesantunan sikap, dan kesabaran dalam berproses yang menghasilkan keikhlasan sebagai indikator kecerdasan spiritual yang menawarkan keparipurnaan kapasitas untuk mencapai maqom kewaskitaan.
Jika disederhanakan dapat digambarkan bahwa fungsi utama otak manusia adalah membangun referensi yang mengubah data menjadi informasi lalu pada gilirannya menjadi pengetahuan dimana pengalaman inderawi menjadi proses pembelajaran yang menghasilkan memori yang merupakan referensi modular. Selain itu pengalaman dan pembelajaran akan mendorong lahirnya preferensi atau kecenderungan yang kerap dikaitkan dengan emosi. Polaritas antara kenyamanan dan ketidaknyamanan menjadi salah satu elemen utama dalam mekanisme pengambilan keputusan dan sikap yang diimplementasikan dalam berbagai aktivitas kehidupan.
Preferensi maujud dalam konsep reward driven approach yang antara lain dikendalikan oleh area subkortikal seperti nukleus akumbens dan ventral tegmental area. Sementara aspek pertimbangan berdasar nilai yang berbasis pada pengolahan informasi objektif akan mendorong terciptanya mekanisme value based approach.
Nilai yang dilahirkan dari sintesis data yang diolah dengan sistem kognisi ini antara lain dihasilkan melalui fungsi Orbitofrontal Cortex/OFC bersama vmPFC yang berperan dalam mengintegrasikan pengalaman sensoris dari area asosiasi dengan proses belajar (inferior frontal gyrus dll, dimana IFG terlibat aktif dalam prosesing bahasa, pemaknaan semantik dll) yang menghasilkan berbagai nilai yang diyakini dan menjadi panduan dalam sebuah proses pengambilan keputusan dan pembentukan model mental.
Selanjutnya dalam tataran yang lebih bersifat prospektif dan holistik kita melihat peran dari dorsolateral prefrontal cortex/dlPFC bersama anterior cingulate cortex/ACC dalam menghasilkan peta mental. Model mental lebih berperan sebagai sistem operasi yang menjadi pemandu berbagai proses neuronal dalam ranah kognitif dan afektif. Sementara peta mental berbasis tujuan tentulah lebih berperan sebagai platform sekaligus mercusuar yang memberikan arah atau pandangan (visi) agar kita dapat menuntaskan misi yang diemban.
Jika pada konsep “reward based driven” sistem limbik akan lebih mendominasi dengan mengedepankan pengalaman “kenikmatan” atau pleasure, maka integrasi dari ketiga pendekatan pikiran tersebut dapat melahirkan keselarasan yang diharapkan dapat menerbitkan kesadaran. Kesadaran inilah yang pada akhirnya mendorong umat Islam untuk memenuhi seruan dalam melaksanakan ibadah puasa ini.
(***)